Di tengah panasnya dunia, kamu berusaha sekuat tenaga mencari sehelai besar daun pisang untuk tempat beteduh adik kecilmu yang menangis kepanasan. Padahal, sudah jelas kakimu berdarah-darah karena perih yang kamu rasakan. Entah hujan maupun panas, siang atau malam, kalau urusannya untuk adik kecil kesayangan, kamu dengan gagah akan melakukan apapun yang dia butuhkan; apapun yang dia minta.
Dengan kepalamu yang berisik sampai kamu perlu memukulnya sedikit untuk diam dan dengan sisa tenaga yang kamu punya, kamu mendengar semua celotehan dan keluh kesah dari perempuan yang selalu kamu damba hangat peluknya. Ibu, seseorang yang mengerti seperti apa bentukmu tapi kurang memahami bagaimana cara mengelusmu, dengan lugasnya mengeluarkan semua luka yang belum pernah ia obati; lebih parahnya, selalu ia tutupi dengan pakaian selembut sutra yang terlihat nyaman di mata orang lain.
Kamu dan ibumu mungkin sudah terlibat ratusan perdebatan sejak kamu mengerti bagaimana cara melawan, yang sebenarnya itu adalah cara kamu menjelaskan rasa sakit yang selama ini kamu kubur dalam-dalam. Dengan 1001 cara juga bahasa, kamu gunakan untuk menjelaskan apa yang menyakitimu dan apa yang sedang kamu lindungi, tapi tidak ada yang cukup paham karena kamu punya bahasa yang kamu ciptakan sendiri. Maka jelas, tidak akan ada yang bisa memahami apa yang sebenarnya sedang kamu perbaiki, termasuk ibumu.
Atas segala apa yang sudah kamu lewati, kamu mendambakan perlindungan paling aman yang dimiliki anak perempuan lain — figur seorang ayah. Kamu percaya bahwa seluruh ayah di dunia ini ingin yang terbaik untuk bunga cantik kesayangannya, hanya saja ada beberapa dari mereka yang tidak paham bagaimana cara merawat bunga. Maklum, tidak semua orang di dunia ini mendapatkan kesempatan untuk belajar mengenai tanah dan pupuk yang bagus untuk bunganya.
Sayangnya, ayahmu adalah salah satu dari mereka, yang tidak punya kesempatan untuk memahami bagaimana cara sebuah bunga tumbuh dengan maksimal. Padahal kamu tau, ayahmu adalah sebaik-baiknya manusia yang ingin menjadi kebanggaanmu. Sosok yang kamu tau punya banyak trauma dibalik kerasnya dan punya banyak mimpi terkubur dibalik semangatnya. Dan dengan segala hormat yang kamu punya untuknya, kata maaf selalu kamu sebar karena kamu ingin hidup damai. Semua orang tau, damai saja tidak cukup kalau yang kamu inginkan adalah belaian hangat di atas kepalamu darinya.
Lalu, kenapa kata maaf sulit sekali kamu beri untuk dirimu sendiri? Mungkin orang lain melihat kamu seperti batu, keras tak berbentuk dan banyak sisi tajamnya alias menyakiti siapapun yang berusaha menyentuhmu. Padahal sebenarnya itu adalah bentuk perlindungan kamu atas diri sendiri. Kamu takut pada siapapun yang mendekat, karena kamu tau nggak banyak yang bisa paham rumitnya kamu. Maka berkamuflase lah kamu, menjadi batu berduri paling berbahaya di dunia yang kamu buat sendiri agar tidak ada yang mendekatimu dan tidak ada yang perlu terluka karenamu.
Sampai kamu lupa, kalau kamu juga menyakiti diri sendiri.
Melalui semua kata kenapa, semua kata bagaimana, semua kata kapan, dan semua kata apa, kamu tanpa sadar menggerogoti kewarasan yang tersisa. Kenapa ruang gerak perempuan dibatasi? Bagaimana bisa adik yang umurnya jauh lebih muda darimu diberi izin melakukan ini dan itu sementara kamu tidak, hanya karena dia seorang laki-laki dan kamu perempuan? Sejak kapan hal-hal yang ada di hidupmu berbelok ke arah yang berbeda dari yang kamu rencanakan? Apakah orang-orang yang kamu sayangi dengan sepenuh hati juga menyayangimu?
Pertanyaan-pertanyaan yang kamu bahkan nggak tau siapa yang bisa menjawab atau kapan bisa terjawab. Terseok-seok kamu paksa kakimu berjalan kesana kemari, mencari tujuan yang bisa buat kamu waras lagi; yang bisa buat hawa panas di hatimu menguap tanpa sisa.
Mati-matian kamu tahan air mata sepanjang hari menggunakan tenaga yang tersisa, supaya kamu tidak perlu takut dipandang lemah. Kata orang, “Jangan takut, kita kan punya tuhan.” Kenapa pula manusia dilarang untuk takut? Tuhan menciptakan rasa takut pada diri manusia bukan untuk dilarang “digunakan”, justru dengan rasa takut lah kamu menjadi manusia seutuhnya. Manusia harus lebih belajar menghargai kedatangan rasa takut, sedih, marah, dan gelisah. Karena di dunia ini, warna putih selalu berdampingan dengan warna hitam. Dan kamu berhasil dalam hal ini.
Tulisan ini tidak memiliki penutup khusus sebagai tanda selesai, sama seperti kamu yang tak pernah menuntaskan penjelasan atas berat yang kamu rasa pada orang lain. Berharap orang lain mengerti tanpa perlu dijelaskan. Kamu perlu belajar, bahwa mereka hanyalah manusia biasa, bukan peramal apalagi dukun yang bisa tau tanpa dijelaskan. Hanya sekedar tau, karena tidak semua orang mau mengerti.